Hi! Here I am!
Kali ini saya ingin membagikan salah satu pengalaman yang pernah saya alami. Pengalaman yang kadang membuat saya ‘berpikir’ dua kali untuk menjawabnya. Karena saya tahu, jawaban atas pertanyaan tersebut tidak sepenuhnya objektif. Melainkan 80% opini. Opini yang bagi saya benar, tapi belum tentu bagi kalian juga benar. Yang jelas, kita saling menghargai sesama dan tentunya ambil saja sisi positifnya.
Tulisan ini dibuat ketika saya duduk di bangku akhir masa sekolah saya. Kelas dua belas. Kelas tiga SMA. Kelas dimana saya mengalami masa putih abu-abu yang sebenarnya. Lah terus kelas sepuluh-sebelas nggak putih abu-abu gitu? Bukan gitu maksudnya.
Terus terang, ketika awal saya masuk bangku SMA, saya merasa bahwa dunia saya berubah 180o. Jauh berbeda dari masa dimana saya duduk di bangku SMP dulu. Perubahan utama yang bahkan bisa saya rasakan sejak awal adalah lingkungan. Lingkungan SMA tempat dimana saya menempuh pendidikan saat ini berada di Perumnas yang padat penduduk. Yang setiap pagi selalu memaksa saya untuk menjadi titisan Marquez: pembalap (dadakan). Masih mending Marquez, balapan di sirkuit bagus, motor bagus, lawan bagus. Lah saya? Jalanan kota rusak (yang bolak-balik dibenerin tetep balik lagi, rusak), pake matic yang kadang suka lupa ada adik saya di belakang yang misuh-misuh dengan cara nyetir saya, balapan sama orang berangkat kerja, sama truk yang gak mau kalah sama pengguna motor, sama ibu-ibu yang nganterin anaknya sekolah bonceng empat, dan nggak lupa nyetirnya pakai metode urakan (damai, buk),belum lagi macet, lampu merah yang lama, nganterin adik ke sekolah dulu, dan banyak alasan lainnya.
Belum lagi lingkungan interal sekolah saya yang berbeda dengan lingkungan di SMP. Teman-teman yang (menurut saya) lebih beragam, lebih berkelas, lebih individualis, dan memiliki intelektual yang nggak bisa diremehin. Lalu apa perbedaannya? Ketika saya SMP, di awal saya masuk dan mengikuti MOS/ PLS, saya bertemu dengan teman yang sangat ramah, sangat loyal terhadap sesama, entah sekadar menanyakan nama, sekolah asal, mengapa memilih bersekolah disini, dan sebagainya. Dan pada hari pertama KBM, saya sudah memiliki banyak teman. Sedangkan di bangku SMA? Saya mencoba melakukan hal yang sama, sok kenal, dan tanggapan mereka adalah biasa saja; menjawab dengan lugas tanpa menanyakan kembali, atau membicarakan hal lain, bahkan hingga saya duduk di bangku kelas IPA. Sikap individualis itu benar-benar saya rasakan sampai beberapa minggu saya duduk disana. Memiliki teman sebangku yang bahkan lebih pendiam dari saya. Sehingga memaksa saya mengunci rapat-rapat mulut saya untuk ngomong kesana-kesini bersamanya.
Perbedaan yang kadang membuat saya menyesal telah memilih bersekolah di sekolah yang cukup ‘tinggi’ untuk manusia berotak minimalis seperti saya. Ketika saya memutuskan untuk pindah ke kelas IPS—karena memang sejak awal saya sangat-sangat-sangat tidak menyukai jurusan IPA (khususnya matematika), saya mulai merasakan sedikit suasana cair. Teman-teman yang dengan ramah menyapa saya, menawarkan pada saya untuk duduk sebangku dengan mereka, mengajak saya berbicara, mengajak saya ke kantin bersama, dan sebagainya. Yang saya rasakan setelah pindah ke kelas IPS saat itu adalah bersyukur. Saya diselamatkan oleh Tuhan dari kumpulan makhluk-makhluk pendiam yang tahan mental dalam menghadapi pelajaran kimia selama tiga jam, dan dikenalkan dengan manusia-manusia kelas IPS yang baik dan tidak jelas, yang mampu membuat saya melebur dalam waktu singkat bersama mereka. Dan saya merasa nyawa saya yang sempat menghilang selama beberapa hari di SMA itu akhirnya kembali dengan bersamanya saya yang resmi menjadi bagian dari siswa kelas IPS.
Jika ditanya soal indah mana sih, masa SMP sama SMA? Tentu dengan sangat yakin, saya menjawab masa SMP. Seperti yang saya katakan sebelumnya, jawaban saya bukan jawaban objektif, yang pastinya tidak semua orang merasa sama dengan opini saya. Lalu kenapa menjawab lebih indah masa SMP kalau alasannya cuma faktor lingkungan?
Faktor lingkungan bukan satu-satunya alasan mengapa saya lebih mencintai masa SMP saya daripada masa SMA. Ketika duduk di bangku SMP, untuk pertama kalinya saya mulai belajar lepas dari embel-embel ‘anak kecil’, belajar mengenal lebih banyak individu dengan beragam cara dibandingkan dengan masa SD, belajar mengenal banyak materi pelajaran yang lebih beragam, belajar menyesuaikan dengan guru per-mata pelajaran, belajar mengenal organisasi dan kegiatan yang lebih luas, belajar bertanggung jawab, dan yang paling indah adalah belajar menyukai lawan jenis. Sedangkan di masa SMA, saya sudah mengenal itu semua, dan hanya satu yang perlu saya pelajari dengan betul di bangku SMA: belajar dewasa.
Mau tidak mau, seorang siswa yang baru saja lulus dari SMP dan melanjutkan ke jenjang SMA/SMK, maupun bekerja, akan menghadapi dunia yang jelas berbeda dengan ketika mereka menyandang status sebagai siswa SMP. Entah itu pergaulan, tekanan, kewajiban, dsb. Secara tidak sadar, pribadi yang terbentuk ketika SMP akan mengalami perkembangan dan perubahan. Mungkin tidak banyak yang menyadarinya. Namun beberapa teman saya mengatakan ‘ya’. Perubahan itu pasti terjadi. Entah berubah menuju arah yang positif, atau malah negatif. Dan disinilah, di bangku SMA, saya mencoba membuktikannya.
Ketika duduk di bangku SMP, saya memiliki empat orang sahabat. Saat ini kami berempat, tidak lagi berada di sekolah yang sama. Kami meneruskan pendidikan kami di jenis sekolah, nama sekolah, dan lingkungan sekolah yang berbeda. Sistem pendidikan yang tidak sama antar sekolah kami membuat kami memiliki banyak hambatan untuk sekedar kumpul dan melakukan banyak hal seperti dulu. Namun sebisa mungkin, kami selalu mencari ruang untuk bisa bertemu, untuk sekedar tahu keadaan masing-masing, dan bertukar cerita tentang kehidupan yang kami jalani saat ini. Ketika saya bertemu mereka, setelah dua tahun tidak bersama, saya dapat merasakan perbedaan yang ada pada kami. Baik itu cara berbicara, cara menyikapi sesuatu, cara berpendapat, atau cara kami menghadapi situasi. Namun dari sekian banyak perbedaan yang tercipta diantara kami berlima, kami tetap berusaha menghargai, menjadi pendengar dan pemberi saran yang baik, sebisa mungkin kami tetap menjaga agar masa-masa indah yang saya miliki bersama mereka tidak menghilang begitu saja hanya karena perubahan.
Hal lainnya adalah saya mengikuti organisasi dan kegiatan yang beragam. Ketika saya SMP, saya mencoba memberanikan diri untuk bergabung dalam banyak aktivitas positif yang kadang malah menyita waktu belajar saya. OSIS, ekskul band, vocal group, karya ilmiah remaja, dan kegiatan lainnya. Saya sangat menikmati masa-masa dimana saya mengenal sesuatu yang baru dalam hidup saya. Ikut larut dalam indahnya kepolosan anak-anak yang mulai tumbuh dewasa. Dan banyak hal yang saya lakukan di masa SMP mengantar saya pada satu hal yang indah, yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Jatuh cinta.
Saya mulai menyadari bahwa saat itu saya benar-benar telah tumbuh menjadi seorang remaja ketika secara tidak sadar, saya selalu memikirkan satu orang setiap waktu. Mencari informasi tentangnya, berjalan bolak-balik di sepanjang koridor depan kelasnya hanya untuk memastikan apakah hari itu dia masuk sekolah, melihat dan memotretnya secara diam-diam dari jauh, atau merasa berbeda setiap kali berbicara dengannya. Dan lama setelahnya, saya baru mengerti bahwa itu adalah pertama kalinya saya merasakan jatuh cinta pada seorang laki-laki. Indah sekali!
Lain halnya dengan masa SMA saya. Dimana saya tidak pernah merasa se- excited itu ketika berhadapan dengan seorang laki-laki. Tidak ada cerita indah tentang cinta pada masa SMA saya.Sedih? Iya, juga enggak. Sedih karena saya dulu menganggap bahwa masa SMA adalah masa-masa indah seperti yang ada di film-film roman, masa dimana mungkin saja saya mengenal seorang laki-laki dan kembali merasa cemburu-cemburuan hingga sedih berlarut-larut seperti ketika saya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Nyatanya tidak. Dunia SMA yang saya kenal adalah tentang tugas-belajar-masa depan. Tapi setidaknya saya merasa bersyukur, saya mengenal teman-teman kelas yang memahami saya, dimana hal ini tidak saya temukan ketika saya SMP, mungkin karena sikap kami yang pelan-pelan sudah menunjukkan kedewasaan. Selain itu tekanan untuk fokus pada satu tujuan: masa depan membuat saya berhenti membagi sebagian waktu saya pada hobi, ekstrakulikuler, dan kegiatan lainnya, dan membuat saya untuk tetap melihat lurus pada satu tujuan.
Persaingan yang semakin ketat, motivasi yang semakin banyak, dan keinginan untuk bisa mewujudkan cita-cita membuat saya merasa sangat menghargai waktu saya bersama tumpukan tugas dan waktu saya bersama teman-teman saya.
Putih abu-abu. Tak selamanya sesuatu yang putih akan terus menjadi putih, manakala noda dan debu yang kita temui di sepanjang perjalanan akan membuat warna putih itu tak lagi putih. Tapi saya bersyukur, setidaknya dunia saya tidak hanya diisi oleh satu warna kehidupan saja.
Putih abu-abu, indah, berwarna, tapi tak semenyenangkan itu. Tapi coba sadarilah, lalu berterimakasihlah, putih abu-abu telah mengantarmu untuk berkenalan dengan sikap dewasa.
Jadi, sudah jelas? Lebih indah mana masa SMP dengan masa SMA? Silahkan menikmati masa-masa indah itu sendiri. Tidak akan ada yang benar-benar mengerti suatu hal jika belum merasakannya sendiri. Percayalah.
Masa SMA yang indah kalau tugasmu sebagai jomblo nggak cuma mantengin temen yang lagi kasmaran.