Saturday, 5 September 2015

Cinta Pertama

27 April
Petang mulai muncul seiringnya cahaya surya yang mulai meredup, kembali ke peraduannya. Ufuk barat yang berwarna jingga dengan lembayungnya yang tampak elok nan rupawan, mengantarkan langit azzura menuju kegelapan malam yang ditemani milyaran gemintang.
Sama halnya seperti sepasang insan yang sedang tertawa lepas. Menikmati senja yang mengantarkan keduanya menuju bahagia. Melewati penat dan beban yang mungkin masih terpatri di wajah damai itu. Tawa yang bahkan terdengar nyaring dari beberapa meter dari sumber suara itu membuat siapa pun akan iri melihatnya. Dan tanpa ditanya, mereka seperti sepasang merpati putih yang indah dan bersih.
Sepeda gunung itu berhenti di salah satu tepi di dermaga yang sore ini tak begitu ramai. Gadis berambut ikal dengan mata sipit itu turun dari atas sepeda itu. Senyumnya masih mengembang dari bibir mungilnya. Seolah matanya berbicara bahwa ia amat bahagia hari ini. Berbicara pada seorang pria yang agak tua darinya. Yang menggunakan seragam sekolah yang sama dengannya. Yang juga ikut tersenyum melihat senyum itu masih terus mengembang.
Gadis itu berjalan agak cepat ke tepi pembatas antara pantai yang menjorok ke bawah. Detik berikutnya, setelah laki-laki berhidung mancung itu meletakkan sepedanya di tiang lampu yang ada ia juga ikut menyusul gadis itu. Merangkulnya dari belakang. Seolah tak ingin melewati indahnya senja bersama seseorang yang sangat ia sayang.
"Gue nggak mau pisah sama lo. Gimana pun caranya" ujar gadis itu. Gadis bername tag 'Aulia Jihan R' itu memejamkan kedua matanya. Merasakan hembusan angin pantai yang ingin sekali saja ia benar-benar merasakan bahwa banyak karunia yang seharusnya ia nikmati diantara getirnya kisah hidup mereka.
"Yang ada gue yang gak mau lo tinggal balik ke Surabaya" balas laki-laki itu. Ia menggembungkan pipinya. Sontak saja Jihan membuka kedua matanya dan menoleh ke samping kanannya, tempat laki-laki itu menaruh kepalanya di bahunya dan tertawa pelan.
"Gue gak pergi kok. Jarak Makassar-Surabaya nggak sejauh yang lo pikir" tetap saja laki-laki yang dua tahun lebih tua di atasnya itu memasang wajah lucunya. Dan hal itu membuat Jihan gemas. Dicubitnya pipi laki-laki itu.
"Tapi berikutnya lo bakalan ninggalin gue dan lebih bahagia disana. Ngelupain gue dan semua kenangan yang pernah kita buat disini"
Hening.
Tak ada yang menjawab. Dekapan laki-laki yang dipanggilnya 'Erik' itu terasa hangat menjalar di pori-pori kulitnya. Angin dan petang membawa keduanya menuju berbagai peristiwa yang mereka alami setahun belakangan ini.
Dan peristiwa demi peristiwa yang masih terpatri di benak masing-masing itu sungguh tak ingin mereka lupakan. Terlebih dua minggu lagi gadis yang amat istimewa untuk Erik itu kembali ke tanah Jawa tempat kelahirannya.
"Sungguh, lo adalah cinta pertama" kata Jihan pelan
"Apa gue cinta terakhir lo juga?"
"Ya, semoga saja"
***
Pensil itu mencoret selembar kertas putih dengan tulisan yang terlihat indah. Dan laki-laki bernama Erik itu masih sibuk berkutat di meja belajarnya sejak sejam yang lalu. Tak ada yang mengusiknya. Kecuali suara game dari play station milik kakak laki-lakinya yang bermain di kamarnya itu.
"Buat apa sih?" celetuk Adri, kakaknya. Yang sejak tadi sama diamnya dengan adiknya.
"Buat Jihan" jawab Erik sekenanya. Laki-laki yang terlihat dingin itu ternyata memiliki pribadi yang bisa saja membuat orang menggelengkan kepalanya terhadap sikapnya.
"Oh ya, Jihan kapan balik?"
"Dua minggu lagi" jawab Erik malas. Ia benar-benar tidak rela jika harus berpisah dengan sahabatnya yang nyatanya telah membuatnya jatuh hati untuk yang pertama kalinya. Entahlah, gadis kecil yang bersikap lebih dewasa darinya itu memang paling mengerti apa yang selalu ia rasakan.
"Nggak sedih atau apa gitu?" Adri melirik adiknya sekilas sebelum ia menekan-nekan tombol sticknya lagi.
"Buat apa? Toh dia bakalan kembali lagi kesini" Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa berpisah dengan Jihan tak akan seburuk yang ia pikir sebelumnya. Meski ia tahu ia akan kehilangan satu-satunya sahabat perempuannya sekaligus kekasihnya.
"Lagian dia itu sayang sama gue. Mana mungkin dia ngelupain gue" Adri terkekeh pelan mendengar kalimat terakhir adiknya.
***
29 April
Musim penghujan di akhir bulan ini memang begitu meresahkan. Terlebih untuk gadis yang saat ini menunggu jemputannya yang tak juga muncul sejak bel pulang untuk kelas tujuh dan delapan dua puluh menit yang lalu. Lorong-lorong sekolah bahkan sudah mulai sepi. Kecuali di kelas atas. Tempat anak-anak kelas sembilan yang masih melaksanakan bimbel untuk persiapan ujian nasional.
Bel terakhir berbunyi. Dan di menit berikutnya para siswa-siswi yang rata-rata bertubuh lebih besar dari Jihan itu keluar dari kelasnya masing-masing. Menerobos air hujan yang semakin deras jatuh ke permukaan bumi.
"Kok belum pulang?" celetuk seseorang dari belakang. Tanpa menoleh, Jihan sudah tau itu siapa
"Nunggu abang gue" Jihan memeluk tubuhnya sendiri, menyadari hawa dingin yang sejak tadi menemani tubuhnya yang hanya menggunakan seragam berlengan pendek.
"Mungkin abang lo kejebak macet" Jihan berdehem
"Pulang bareng gue aja gimana?" Ide yang membuat Jihan menoleh ke arah laki-laki yang agak pucat itu
"Bareng lo? Naik sepeda?" Erik mengangguk
"Tapi kan..."
"Kita lewati aja" seolah tahu maksud Jihan. Erik melepas jaket biru yang sempat melekat di tubuhnya dan memakaikannya pada tubuh mungil Jihan. Gadis itu tak menolak. Sedikit memperhatikan wajah yang tak biasanya menimbulkan rona-rona pasi itu.
"Lo sakit?"
"Enggak kok. Udah ah ayo. Nanti tambah deres" tak mau ditanya lebih banyak lagi. Laki-laki itu menyeret gadis yang tingginya sebatas bahunya itu untuk menerobos rinai hujan.
"Lo tau gak, gue bahagia banget tiap kali sama lo"
"Gue juga"
***
1 Mei
Bola mata gadis itu masih saja bergerak-gerak mencari seseorang yang ditunggunya sejak tadi pagi. Namun sosok yang biasanya selalu keluar paling awal di jam istirahat pertama itu tak juga muncul dari pintu berwarna cokelat tua itu.
"Kak" Jihan memanggil salah satu gadis yang dikenalnya adalah teman sekelas Erik
"Ya?"
"Kak Erik kok nggak kelihatan ya?"
"Dia nggak masuk"
"Nggak masuk? Kenapa kak?"
"Nggak tau, mungkin sakit. Soalnya kemaren agak pucet" Kata gadis berambut pirang itu. Memang kemarin seharian Jihan tidak sempat bertemu dengan Erik. Ia harus mengurus surat kepindahan sekolah.
"Eh aku duluan ya" Jihan tersenyum singkat
"Sakit? Sakit apa? Sakit hati gue tinggal balik? Haha" Jihan tertawa kecil dan kembali ke kelasnya
***
2 Mei
Wajah pucat yang masih menyimpan guratan kesayuan itu tersenyum ke arah gadis yang saat ini duduk di tepi ranjangnya. Mengelus pergelangan tangannya yang bebas dari selang infus. Ia dapat menangkap raut khawatir dari pemilik mata bening gadis itu.
"Emangnya lo sakit apa sih sampai harus opname gini?" tanya Jihan akhirnya. Pertanyaan yang sejak tadi ingin ia tanyakan pada laki-laki bernama Eriko Arif yang sedang bersandar di kepala tempat tidur itu.
"Sakit hati nih lo tinggal balik" jawab Erik seenaknya. Jihan tertawa pelan
"Tuh kan bener tebakan gue"
"Emang lo nebak apa?"
"Gue nebak kalo lo minum racun tikus dan bunuh diri sama pecahan kaca kamar mandi saking terpukulnya lo sama kepergian gue" jelas Jihan asal
"Yaelah monyet" Jihan membulatkan matanya. Wajah lugunya seolah mengatakan; apaan sih
"Hmm, emang sesayang apa sih lo sama gue kak Rik?" laki-laki berotak jenius itu berpikir sebentar
"Sesayang gue sama IPA"
"IPA? Emang apa hubungannya?"
"Karena bagi gue semua pengetahuan alam itu ada hukum dan teorinya yang bisa dibuktikan. Sama kayak cinta gue ke lo. Ada dan bisa dibuktikan" Jihan tertawa pelan
"Emang buktinya apa?"
"Buktinya nih gue sampai masuk rumah sakit gara-gara lo mau balik" Jihan tertawa lagi. Laki-laki di depannya ini memang paling bisa membuatnya tertawa karena ucapan-ucapannya yang asal-asalan namun selalu ia simpan baik-baik di memorinya.
"Perlu lo tau ya, sampai gue mati pun gue gak bakalan berhenti mencintai lo"
"Ih merinding gue dengernya" Jihan tertawa lepas, menatap wajah tampan yang tak pernah menampakkan wajah sendunya di depan siapa pun.
***
4 Mei
"Rik, lo tau gak? Gue.."
"Gak" belum sempat Jihan meneruskan pembicarannya, laki-laki yang duduk di beranda rumah sakit itu memotong ucapannya.
"Ih, gue belum selesai ngomongnya" Erik tertawa pelan
"Gue menang lomba nyanyi loh" Jihan berteriak senang. Beberapa pengunjung rumah sakit menoleh ke arahnya dan Jihan acuh saja
"Oh ya?" Jihan mengangguk semangat
"Gue mau denger dong suara lo kalo emang lo bisa nyanyi" Jihan menarik nafasnya masih dengan senyum yang mengembang dari bibirnya
"Jujur aku tak kuasa saat terakhir ku genggam tanganmu
Namun yang pasti terjadi kita mungkin tak bersama lagi"
"Bila nanti esok hari ku temukan dirimu bahagia
Ijinkan aku titipkan kisah cinta kita selamanya" Erik ikut melantunkan potongan lagu berjudul Demi Cinta itu. Entahlah, ia bukan seorang apresiator yang pandai menghayati lagu itu. Tapi ia akui, ia merasakan hal yang aneh dari lagu yang sepertinya tertuju padanya itu.
"Suara gue bagus kan?"
"Hmm"
"Ihh, kok gitu aja? Jelek ya?" wajah lucu itu seketika ditekuk
"Mau jelek, mau bagus. Lo tetep bidadari gue yang pertama dan terakhir" Jihan mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar
"Pandai deh urusan gombal" Erik ikut terkekeh
***
7 Mei
Tepi jalan raya Panakukang mulai ramai oleh kendaraan bermotor. Asap-asap pun mulai tercium hingga menimbulkan polusi tersendiri di kota Makassar itu.
Seperti halnya dua anak manusia yang berjalan di tepi jalan yang padat dilalui kendaraan itu. Hanya ada suara hiruk pikuk kota yang tertangkap di telinga mereka. Tak ada suara sejak mereka keluar dari pagar rumah bercat hijau di salah satu perumahan disana.
"Rik"
"Hmm"
"Nanti kalau kita udah besar, kita nikah yuk" di tengah bisingnya kendaraan, Erik masih dapat mendengar dengan samar suara Jihan. Ia tertawa pelan, pernyataan yang bagus.
"Emang lo kapan besarnya?" Tanya Erik menggoda. Laki-laki kalem itu menyeret gadis berlogat Jawa itu memasuki taman bermain disana.
"Nanti Rik, lima belas tahun lagi. Gue nunggu lo disana. Di kolam itu, gue mau lo ngelamar gue bawa sebatang bunga mawar merah" Dua pasang kaki itu melangkah melewati jalan setapak yang basah oleh hujan semalam.
"Sebatang mawar merah? Kok cuma sebatang? Nggak mau gue buatin mawar merah yang mengelilingi kolam itu?" mereka mencari salah satu bangku di tepian taman itu yang mengelilingi kolam dan air mancur.
"Enggak Rik. Gue mau satu aja. Biar praktis, bisa gue simpen di kamar gue sampai kamar gue jadi kamar kita dan anak-anak kita" Erik tersenyum, mengacak rambut Jihan. Gadis itu memang selalu punya alasan.
"Rik, kalau gue pergi jaga diri baik-baik ya" Ujar Jihan
"Yang ada lo kali' yang jaga diri. Lo disana sendiri cuma sama mama lo. Ditinggal mama lo kerja tiap hari dan hidup mandiri. Lo pasti kesulitan jaga diri lo. Baik-baik lo disana" Jihan mengangguk-angguk
"Pasti"
***
9 Mei
Kamar dengan nuansa hijau dan ornamen sepak bola yang memenuhi meja belajar, dinding dan nakas itu menjadi salah satu alasan Jihan untuk enggan memasuki kamar itu. Kamar itu hanya akan mengingatkannya pada kejadian setahun yang lalu ketika ia dimarahi habis-habisan oleh tetangganya karena bermain bola dengan sepupunya di Surabaya dan mengenai beberapa telur ayam yang belum menetas di tempatnya, entah bagaimana caranya.
Jika tidak karena laki-laki yang hari ini terlihat sangat lemas yang duduk bersandar di kepala tempat tidur itu sakit. Dan Jihan tak ingin melewati sedikit waktu pun selain berada di samping laki-laki itu selama ia masih ada di kota Phinisi ini.
"Dari dulu emang sering sakit ya Rik?" Erik hanya mengangguk pelan
"Sakit apa sih Rik?"
"Kecapekan doang"
"Rik.." Jihan meletakkan kepalanya di bahu Erik. Suhu tubuh laki-laki itu memang masih panas. Tapi ia akan merasa lebih baik jika gadis itu di sampingnya. Menemaninya berceloteh ria.
"Jangan sakit-sakitan" Erik menarik nafas pelan. Mengelus lembut kepala Jihan.
"Kenapa emangnya?"
"Nanti siapa yang jaga kamu kalau aku balik ke Surabaya?" tanya Jihan balik
"Kita saling menjaga. Kita telepati lewat sini" Erik menarik tangan Jihan dan meletakkan di dadanya. Jihan diam. Menatap wajah pucat dengan mata bening yang tak pernah hilang itu.
"Ingat ya, You are my first and last love" Lanjut Erik. Jihan mengerutkan dahinya
"First and Last?"
"Iya"
"Hmm, oke. You are my first and last love too"
"Tapi Han, takdir bisa berubah"
"Berubah?"
"Iya, bisa aja hari ini kita buat janji. Tapi besok janji itu nggak akan terpenuhi"
"Ya berdoa aja supaya terpenuhi" jawab Jihan enteng. Erik hanya geleng-geleng kepala
***
12 Mei
"Kenapa nggak bilang dari dulu?" tanya Jihan pelan. Lorong rumah sakit yang sudah sepi karena jam berkunjung sudah habis membuat suara yang ada disana terdengar jelas
"Dia takut Han" jawab Adri
"Takut apa?"
"Dia takut kamu bakalan jauhin dia. Dia takut kalau kamu nggak bisa nerima kenyataan kalau dia..."
"Aku pengen jaga dia lebih lama, kak" setitik air mata pertama yang luruh untuk laki-laki yang dianggapnya sebagai cinta pertamanya itu membuat Adri memandang lirih gadis kecil di sampingnya itu
"Kamu masih punya banyak waktu buat jaga dia" Adri menarik Jihan ke dalam pelukannya. Hal yang selalu ia lakukan pada adik perempuannya jika bersedih hati.
"Apa dia akan bertahan lama?" lirih, benar-benar lirih. Hanya hembusan dingin angin malam setelah hujan melanda, membuat langit menjadi kelabu dan bau tanah yang basah masih tercium, menambah kegundahan di hati kecilnya.
"Tentu. Dia laki-laki yang kuat" Jihan menyadari, ada yang bergetar diantara suara baritone itu. Dan keraguan dan kekhawatiran yang besar menyelinap masuk begitu saja ke relung hatinya.
***
14 Mei
Tak ada yang ingin melepaskan dekapan hangat di antara keduanya. Yang mereka inginkan hanya begini untuk selamanya. Wangi maskulin itu merambat ke pernafasannya. Dirasakannya setiap hembusan nafas di dada bidang yang semakin kurus itu.
Sementara Adri dan ayah Jihan yang menjadi saksi dua insan itu hanya diam. Berusaha menyembunyikan sesuatu yang tergenang di pelupuk mata. Menyaksikan bagaimana persahabatan dan kisah cinta pertama dan mungkin akan menjadi yang terakhir itu dengan begitu singkatnya. Dan takdir memang tak punya negosiasi.
"Aku akan nunggu kamu selama yang aku bisa" Suara serak itu membuat tangis Jihan semakin deras. Erik melepas pelukannya dan menatap detail wajah yang memerah itu.
"Dengar ya, sesuai janji kita. Aku akan ngelamar kamu, bawain kamu setangkai mawar merah di dekat kolam itu. Pegang janjiku!" Ucap Erik tegas. Masih dengan air matanya, Jihan mengangguk samar. Dan suasana haru itu terjadi selama beberapa menit di bandara yang nampak ramai. Liburan akan segera berakhir.
"You are my first and last love"
***
10 Agustus
Gadis berseragam biru putih itu berjalan cepat ke arah ponselnya yang berbunyi di atas meja belajar.
"Hallo, Rik.  Ada apa? Maaf ya baru pulang sekolah. Kam.."
"Aku Adri, Han" suara yang berbeda dari nama si pemilik nomer itu
"Oh, kak Adri. Ada apa kak?"
Hening
"Hallo?"
"Erik meninggal, Han" berhenti. Jihan merasa waktunya berhenti. Tak ada nada bercanda yang ia tangkap dari suara di seberang sana. Yang ada hanya nada lirih. Intonasi yang sarat dengan kesedihan. Dan detik berikutnya, air mata itu mengalir lagi.
Air mata yang benar-benar menjadi kesedihannya. Kesedihan membuatnya merasakan luka yang amat dalam. Ia tak percaya, dan kenyataan itu memaksanya dengan tegas untuk tetap percaya. Kekasihhnya telah pergi, untuk selamanya.
***
5 Juli
Sudah lima tahun.
Waktu yang tak pernah ku hitung lagi
Waktu yang membuatku berubah
Menjadi manusia sepertimu
Eriko Arif
Mungkin hanya itu nama yang aku kenang
Laki-laki yang lahir di Maros, tujuh April
Laki-laki yang jenius dan dingin
Laki-laki yang beraroma maskulin
Dan laki-laki yang menjadi cinta pertamaku
Kita pernah berjanji disini
Untuk dia melamarku dengan setangkai mawar merah
Banyak yang berubah dari tempat ini
Kecuali kolam yang tetap sama
Dan harapan untuk merangkai masa depan itu
Telah benar-benar berakhir
Aku minta maaf
Mungkin aku memang munafik karena mengingkari janji
Tapi aku hidup sebagai manusia yang beranjak dewasa
Dan tentu perasaan lain itu datang lagi
Pada orang yang berbeda
Orang yang berkepribadian nyaris mirip sepertimu, Erik
Orang yang memiliki senyuman manis semanis senyummu
Aku berharap kamu tak akan kecewa disana
Aku sudah berhasil pindah ke lain hati setelah sekian lamanya
Tapi tenang saja, kau tetap yang pertama
Terima kasih, Eriko Arif.
Ku pastikan kau pun bahagia disana
Disini, ku akhiri mimpi-mimpi kita
Dan aku ingin membuat mimpi yang baru
Mimpi untuk hidup bahagia dengan orang lain yang mampu membahagiakanku


THE END